Ilmu dan Amal
>> Tuesday, March 08, 2005
Dirangkum dari: Elfata Edisi I I/II/2002
Ilmu dan amal, keduanya hrs berjalan seimbang. Inilah yang membedakan umat Islam dgn Yahudi dan Nasrani. Yahudi dikenal kaya ilmu tapi miskin amal...sedangkan Nasrani sebaliknya, hobinya beramal tanpa ilmu.
Golongan pertama diberi gelar "al maghdhuub" artinya dimurkai Allah. Golongan kedua disebut "adh dhalliin" artinya org2 yang sesat.
Bagaimana dgn Islam? Mari kita "meretas" jejak para salafus shaleh, bagaimana mereka berilmu dan beramal.
Tawazun
Para asslafus shalih (Rasulullah shalalluhu'alaii wasallam dan para shahabat) adl org2 yg paling tawazun (seimbang), baik dlm berilmu maupun beramal. Amalan selalu menyertai ilmu yg mereka miliki.
Para shalafus shalih punya metode mempelajari Al Quran yang mengagumkan, ketika mereka telah mempelajari 10 ayat, mereka tdk beranjak ke ayat yg lain. Mereka pahami betul2 maknanya lalu mengamalkannya. Ya amalan tubuh, ya amalan hati. Sehingga ayat2 yg mulia itu tdk hanya berhenti di tenggorokan, ttp mampu menembus ruang hati.
Ilmu mereka berbekas
Bekas2 ilmu mereka nampak dlm kehidupan keseharian. Bibir mereka tak pernah kering, dzikrullah selalu menghiasi dan membasahinya. Lisan mereka begitu harum, tak ada perkataan kotor dan sia2. Itulah bukti kebenaran ilmu mereka, tak hanya menimbun ilmu dan jauh dari amal. Mereka berilmu sekaligus beramal. Amalan adalah wujud konkret dari ilmu. Itulah yg disebut Ilmun Nafi'un (ilmu yg bermanfaat).
Hebatnya Ibadah mereka
Generasi teladan biasa menunaikan kewajiban syariat dgn sungguh2, ikhlas dan sesuai syariat. Untuk sebuah kebaikan akhiratlah mereka saling berebut, bukan masalah harta. Saling berebut posisi salat di saf pertama, datang ke masjid jauh sblm waktu shalat tiba. Itu semua demi mendapatkan keutamaan shalat jamaah dan saf pertama.
Mereka tak puas dgn amalan wajib
Amalan sunnah pun tak disia2kan. Qiyamul lail adlh aktifitas harian yg tak pernah luput. Mereka tak sebatas mengetahui bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Mereka meyakini dan membenarkan kabar Rasulullah tsb dlm wujud amalan shalat malam. Keheningan malam itu mengiringi doa2 mereka kpd Allah.
Ilmu tdk membuat takabur
Kalau direnungkan, bisa jadi ilmu kita bertambah setiap hari, tapi sayang, lebih sering bekasnya tak terlacak dlm kehidupan sehari2. Khasyyatullah (rasa takut kpd Allah) tak kunjung hadir. Ilmu memang bertambah, tapi rasa takut kepada Allah seakan tak menyertai ilmu tadi. Padahal kata Imam Ahmad bin Hanbal: "Rasa takut itulah pokok dari ilmu."
Sadarkah kalau ilmu kita masih sangat sedikit dan terbatas? Janganlah memasukkan diri kedalam kelompok pemilik ilmu sejengkal. Ada kata2 bijak: "Ilmu itu ada 3 jengkal. Barangsiapa yg masuk jengkal pertama, biasanya takabur. Yang msk jengkal kedua akan menjadi orang tawadlu'. Dan barangsiapa yang masuk jengkal ketiga akan mengetahui bahwa dirinya tidak tahu."
Pemilik ilmu jengkal pertama sering merasa ilmunya adalah segalanya, muncullah sikap meremehkan org lain, merasa dirinya paling berilmu.
Berhias dgn Keindahan Allah, tawadlu' dgn ilmu yg dimiliki. Jangan merasa lbh dari yg lainnya. Berhias dgn adab2 jiwa, menjaga diri, hilm (menahan marah), sabar, tenang, dan tunduk pada kebenaran.
Ada sebuah kisah dari seorang shahabat: Apabila keluar masjid, maka tangan kanannya menggenggam tangan kirinya. Ketika ditanya mengapa berbuat demikian, beliau menjawab "Aku takut bila tanganku berbuat kemunafikan." (maksudnya beliau takut tangannya berlenggang dgn kesombongan). Intinya, ikhlas dalam beramal dan menjaga kerahasiaan amalannya.
Waktu tak pernah berjalan mundur. Detik demi detik terus melaju, mengiringi perjalanan umur manusia. Ajalpun bertambah dekat. Sedikit ilmu yg kita punya lak layak disimpan, ditumpuk dirak buku hingga berlapis debu tanpa diamalkan dlm kehidupan sehari2. Ilmu tdk akan manfaat tanpa diiringi amal. Amalpun tiada berarti tanpa didasari dgn ilmu.
0 comments:
Post a Comment