Update-an yang panjang
>> Thursday, May 18, 2006
Udah lama juga saya ngga update blog ini. Entry terakhir masih 5.5 minggu menanti kedatangan suami. Sekarang ... eng ing eng ... seminggu lagi insya Allah. Alhamdulillah visa kedua dan tiket suami sudah beres. Kali ini prosesnya lebih cepat, ngga sampai 10 hari udah jadi. Mungkin karena udah yang kedua kali yaa.
Kalo dipikir-pikir, cepet juga sebulan berlalu. Tapi kalo diinget-inget, sama sekali ngga cepet! Tiap Jumat harus mikir-mikir weekend ini mau ngapain ya? Untung ada Ajeng yang setia bikinin acara tiap weekend. Ok kita inget-inget, ngapain aja weekend-weekend kemarin:
Weekend ke 2:
Masak rawon n bakwan di tempat Ajeng.
Weekend ke 3:
Belanja groceries bareng Ajeng. Kali itu dibawanya saya ke tempat-tempat baru. Dan untuk pertama kalinya kita nemu ayam dengan label halal di sebuah supermarket. Tapi untung-untungan sepertinya, kadang ada kadang engga.
Weekend ke 4:
Sabtunya belanja groceries sama Ajeng. Menjelajah ke daerah-daerah yang agak pinggir, nyari-nyari daging sapi halal. Alhamdulillah dapet di sebuah toko daging kecil punyanya orang Turki. Serunya lagi, ditoko itu kita sempet menyaksikan adu mulut antar pemuda Turki yang lagi belanja. Duuhhh. Sekedar info, banyak lho orang Turki di Dresden dan Jerman pada umumnya. Bahkan mereka disini yang usianya sekitar 30an itu sudah generasi ke 3 atau ke 4. Jadi jangan heran, bahasa Jermannya udah seperti native. Rata-rata mereka berprofesi sebagai pedagang (banyak yang jualan kebab), katanya sih jarang yang sekolah sampai universitas.
Ahadnya main ke tempat Ajeng. Kebetulan hari itu ada pengajian bapak-bapak doang, jadi ibu-ibu dan anak-anaknya ngumpul di tempat Ajeng. Kita masak spaghetti dan puas mainan sama Cinta yang endut (anaknya Astri).
Weekend ke 5:Sabtunya jalan-jalan ke historical city, menyusuri sungai Elbe. Kali ini udah lebih indah pemandangannya. Banyak orang olah raga n main-main di pinggiran Elbe. Di akhir winter, cafe-cafe dan jalan, juga rumput di seberang sungai (foto kiri) masih tertutup banjir, sekarang udah kembali normal.
Sempet juga nyari-nyari toko souvenir. Ini satu dari beberapa gang yang terkenal dengan deretan cafe-cafe dan toko souvenir di kawasan historical city (foto kanan).
Ahadnya main ke rumah Adila-Tuntas, pasangan muda dari Jakarta. Adila ini dosen UI yang sedang tugas belajar disini dan Tuntas, istrinya, sedang sibuk mengisi hari-harinya dengan kursus bahasa Jerman. Di sana dimasakin ayam panggang n kue yang yummy. Seru ngobrol-ngobrol.
Rencana weekend ke 6:
Insya Allah bakal ada kumpul-kumpul orang Indonesia yang ada di Dresden (acara bulanan mereka).
Sekarang seputar pekerjaan. Minggu kedua kerja, masih santai-santai karena bos masih sibuk, tapi alhamdulillah minggu ketiga dan selanjutnya udah lumayan sibuk, ngebut malah! Tapi justru begini lebih enak, hari-hari jadi terasa lebih cepat berlalu.
Kendala seputar project bermunculan dimana-mana. Mulai dari masalah sample, alat, support man power, juga priority. Namanya juga temporary researcher, harus maklum kalau ngga bisa diposisikan di prioritas atas. Menghadapinya dengan santai justru lebih enak, kalaupun project tidak berjalan sesuai rencana, insya Allah banyak hal lain yang bisa diambil pelajaran.
Pelajaran pertama adalah soal bagaimana orang Jerman itu lebih passionate on what they are doing, in every aspect of work, dibandingkan dengan orang Singapore (atau Asia pada umumnya). Saya belajar banyak dari seorang specialist (technician) bagaimana pentingnya kesabaran, ketelitian, dan ketelatenan dalam menyiapkan sample. Sampai begituuuu detail. Kebetulan sample yang harus saya buat memang super tipis (bagian paling tipisnya kira-kira mencapai 10 nm), jadi gampang patah, dan bikinnya juga harus melalui buanyaakk steps yang semuanya critical. Gagal di 1 step sebelum step terakhir artinya harus mengulang dari step paling awal. Itu yang sering membuat putus asa. Selama ini chance saya untuk sukses masih 50% (kalo ga sukses ya gagal).
Tapi melihat si ibu technician ini, every single step benar-benar disiapkan dengan mantab, sangat professional, ngga buru-buru, penuh pertimbangan, dan yang pasti dilakukannya dengan "smart". Jadi chance dia untuk sukses bisa sampai 90%.
Begitu juga manager saya. Pernah saya punya kesempatan kerja bareng sama si bapak ini. Dia yang menjalankan mesin (super duper complicated mesin), saya mengamati n diskusi kalau ada hal-hal yang perlu. Pengetahuannya tentang mesin yang dia pegang benar-benar membuat saya bengong. Sampai detail parts dari mesin itu dia tau. Dan dari pengetahuannya itu dia bisa menjalankan mesinnya dengan efficien, optimal, dan (lagi-lagi) "smart".
Mungkin hal ini yang membuat Eropa lebih unggul dari Asia (paling tidak di bidang yang berhubungan dengan research saya). Padahal kalau dilihat dari jam kerjanya, orang Jerman kerja efektif cuma 7-8 jam/hari (jam 4.30 sore kantor udah sepi). Tidak ada lembur apa lagi masuk ketika weekend. Orang Singapore officially kerja dari jam 8-9 pagi sampai jam 5 sore, tapi practically, mereka baru pulang jam 7 malam. Jadi ya kira-kira 9-10 jam/hari. Plus kadang masih harus masuk ketika weekend. Tapi kok bisa ya kualitas kerja orang Jerman lebih baik daripada kualitas kerja orang Singapore (masih di bidang research saya lho).
Kalau diamat-amati, orang Jerman memang kerjanya efisien; kerja ya kerja, istirahat ya istirahat. Dari hasil intipan saya ke layar komputer orang-orang di kantor, pada jam-jam kerja yang dibuka kalau ngga micorsoft outlook ya worksheet. Ngga ada yang buka site-site berita atau hiburan (emang kite-kite ... kerjaannya buka detik dot com disela-sela kerja). Di lab juga jarang ada orang ngobrol (emang kite-kite ... di lab malah curhat-curhatan soal supervisor). Tapi begitu jam istirahat tiba, jangan harap ada orang di lab (emang orang Singapore yang kiasu, ngelab sampe lupa makan n istirahat). Jadi mereka ini bisa menempatkan diri (fungsi dan kewajibannya) sesuai dengan timingnya, "work smart" instead of "work hard". Dan yang lebih penting, quality matters more than quantity.
Dari obrolan saya dengan beberapa teman kantor, hampir tidak ada dari mereka yang merasakan stress atau under pressure dalam bekerja. Hmmm ... menarik. Yaa ... itu tadi, balik lagi ke passionate; they love what they are doing. Bekerja bukan karena adanya pressure dari atasan, tapi memang benar-benar menyukai apa yang dikerjakan. Inilah yang mereka sebut dengan filosofi kerja "trusted flexible".
Pelajaran kedua adalah mengenai kesederhanaan. Kaget juga saya mengetahui kalau ternyata orang Jerman itu sederhana dan hemat. Sederhananya mereka bisa dilihat dari rumah, mobil, pakaian, juga alat-alat elektroniknya sepertinya komputer dan handphone. Rumah mereka dan furniturenya rata-rata memang sederhana, tidak seperti typical rumah orang Amerika (yang di film-film =)).
Mobil juga begitu. Tidak kinclong seperti mobil-mobil yang berseliweran di Singapore, tapi tidak juga seperti mobil omprengan di Indonesia. Mobil-mobil disini tidak mewah tapi terlihat terawat dengan baik.
Saya juga mengamati masalah pakaian orang Jerman terutama orang-orang di kantor. Pakaian mereka biasa saja, rata-rata ganti 2-3 hari sekali. Pakaian hangat mereka seperti jaket, mantel, dan sweater, juga biasa banget. Sepatu juga biasa aja. Menurut saya, orang-orang (kalangan orang bekerja) di Singapore jauh lebih modis baik laki-laki maupun perempuannya.
Soal handphone, wah ... yang ini jauuuh ketinggalan dibanding orang Singapore. Hampir semua orang di kantor yang saya tau handphonenya model tua semua, yang ukurannya masih gede-gede. Komputer di kantor juga begitu, masih 90% memakai CRT screen dan keyboardnya juga model lama (jauh dibanding model komputer di library NTU). Padahal perusahaan saya ini yang bikin otaknya komputer. Tapi jangan salah, kemampuan komputernya sendiri tentu diatas standar.
Intinya, mereka lebih mengutamakan fungsi daripada penampilan; baik rumah, mobil, pakaian, hp, komputer, dll. Pelajaran yang menarik buat saya.
0 comments:
Post a Comment