Feel good to be home
>> Thursday, June 22, 2006
Alhamdulillah Selasa malam, 20 Juni kemaren kami sudah sampai di Singapore. Iya, memang sekarang rasanya Singapore sudah menjadi rumah ke-dua kami.
Senin siang kami berangkat dari Dresden jam 12.08 menuju Frankfurt dengan kereta. Dadah-dadah-an deh sama kamar yang ditinggalin disana...
Hall selama di Dresden (Hildebrandstrasse 7)
Pemandangan dari atas hall yang sempat diambil sebelum pulang
Dresden-Frankfurt ditempuh dalam waktu sekitar 5 1/2 jam, kira-kira jam 6 sore kita sampai di Frankfurt. Pesawat dari Frankfurt ke Singaporenya jam 23.55 malam, lumayan lama juga nunggu di bandaranya, sekitar 6 jam-an. Sampai Singapore jam 18.30 waktu Singapore, jadi kalau ditotal lebih dari 24 jam kami diperjalanan...teparrr banget.
Begitu keluar dari Changi...menghirup udara yang segar dan lembab rasanya nyamaaan banget, jadi bersyukur karena tinggal di daerah tropis. Jadi selama ini ngga nyadar kalau cuaca tropis seperti di Singapore dan Indonesia adalah nikmat yang besar? duhhh, manusia...manusia...baru bisa bersyukur atas suatu nikmat ketika nikmat itu dicabut darinya. Cuaca memang menjadi kendala paling besar buat saya selama tinggal di Dresden, pas spring cuaca di sana masih dingin, bisa sampai 5 degC, pas summer panasnya bisa sampai 32degC dengan perubahan yang drastis. Dan yang jelas humidity di sana rendah sekali, kulit rasanya kering, bibir bisa sampai pecah-pecah dan berdarah, kulit juga jadi bersisik dan perih. Ketika kita berjalan dibawah terik matahari, badan rasanya panas dalam karena ngga bisa keringetan. Apalagi disana air conditioner itu ngga populer seperti di Singapore, jangan harap ada AC di dalam bus atau trem, rasanya seperti diungkep (apa ya bhs Indonesianya) di dalam panci (emang pernah neng diungkep?), kebayang kan gimana panasnya.
Sampai di hall rasanya legaaa, akhirnyaa pulang juga, bisa denger lagi bahasa cang-cing-cung (ngga lagi bhs Jerman yang terdengar seperti tertahan ditenggorokan). Habis mandi langsung deh cabut ke Banquet-JP untuk makan malam...pastinya -korean spicy soup-...hmmm uinuuukk. Setelah 2 1/2 bulan makan masakan sendiri terus yang bumbunya itu-itu aja, korean spicy soup malam itu jadi dobel enaknya. Kalau diinget-inget, sebelum ke Dresden saya sering banget komplain tentang makanan-makanan di Singapore, yang ngga enak lah, yang berminyak lah, yang hambar lah, macem-macem. Tapi balik dari Dresden -again- baru menyadari bahwa kemudahan dan ketersediaan berbagai macam masakan halal di Singapore adalah nikmat yang amat besar. Udah ngerasain gimana susahnya nyari bahan makanan dan masakan halal di sana. Mungkin cuma masakannya orang Turki yang bisa kita beli di sana. Itupun hampir sama dengan makanan orang Jerman sendiri yang bahan utamanya adalah roti, daging, dan salad, cuma bedanya dagingnya halal.
Kebab Turki
Teman-teman Indonesia yang tinggal di sana pernah sharing soal ini, mereka sampai rela bela-belain bikin tempe, lontong, sate, mpek-mpek sendiri kalau lagi benar-benar kangen. Jangan heran kalau bapak-bapak di sana bisa bikin bakso gelindingan, masak kari ayam, rendang, rawon, otak-otak, dan masakan-masakan ribet lainnya. Kalo udah kangen ya gimana lagi...harus bikin sendiri, ngga mungkin dong balik ke Indo dulu, kata mereka. Dan hikmahnya, kita jadi nyadar dan menghargai gimana susahnya bikin makanan.
Selain hal-hal diatas, masalah waktu siang dan malam juga agak menjadi kendala. Siang hari di sana panjang nian ketika summer seperti sekarang, jam 4.30 pagi udah terang benderang dan baru gelap jam 10 malam. Maghrib jam 10 malam, isya jam 11.30 malam, subuhnya jam 2.30 pagi. Weleh-weleh...ngga kebayang kalau puasa di sana waktu summer. Waktu puasanya panjang saat cuaca sedang panas-panasnya. Badan juga rasanya gimanaa gitu, (kalau saya) badan baru bisa merasa benar-benar beristirahat ketika hari mulai gelap. Lha kalo jam 10 malam baru mulai gelap...ya agak-agak susah, waktu istirahatnya jadi lebih pendek. Lagi-lagi ditampar untuk bersyukur bisa tinggal di daerah yang waktu siang dan malamnya sama.
Nikmat lain yang paling kerasa adalah nikmat bisa tinggal di sebuah negri yang orang muslimnya banyak. Rasa tentram dan aman dikelilingi banyak saudara sesama muslim lah yang tidak bisa didapatkan di Dresden. Bahkan ngga jarang mendapat tatapan aneh dari orang-orang disekeliling, apalagi kalau di tempat umum. Kalau cuma tatapan aneh sih sebenarnya masih ngga masalah selama kita cuek aja, tapi kalau sampai keamanan yang terancam kan serem juga. Beberapa kali kami ketemu gerombolan pemuda dengan dandanan hitam-hitam, tato dimana-mana, rambut dimodel punk (rambut ada dibagian tengah dan dinaikin ke atas, kanan kirinya diplontos), bawa-bawa anjing gede-gede, ditangan kanan kiri bawa botol bir...sereeem. Munculnya bisa sewaktu-waktu, ngga cuma malam hari aja. Mereka inilah yang sering disebut dengan kelompok skin-head neo nazi yang benci dengan foreigner. Nah mereka-mereka ini yang harus diwaspadai.
Jadi kesimpulannya, saya jadi lebih menyukai Singapore dibanding sebelumnya (walaupun Indonesia tetep nomor satu dihati).
Malam pertama di Singapore badan rasanya capek ngga karuan, mata udah terpejam, tapi ngga bisa benar-benar tidur sementara suami sudah mimpi sampe Wonogiri. huaaa...jadi gini rasanya dilanda jetlag...hiks. Guling kanan, guling kiri, duduk, bangun, ngemil, nge-internet...hhh, akhirnya jam 5 pagi baru bisa tidur....rrrrr...enaknyaaa. Alhamdulillah hari keduanya sudah bisa dijalani dengan normal.
0 comments:
Post a Comment