Anak adalah titipanNya
>> Monday, January 16, 2006
Jumat pagi, 13 Januari 2006, waktu belum menunjukkan pukul 7.00, sebuah sms saya terima: "Dam, anakku udah duluan dipanggil Allah, doakan aku sabar dan ikhlas ya. makasih atas semuanya, maaf udah ngerepotin."
innalillahi wa inna ilaihi raji'un
Dia adalah sahabat saya, ketika SMP sekelas dan sebangku, kami dekat sekali. Orang tuanya sudah seperti orang tua saya sendiri. Begitu juga dia, sudah menganggap orang tua saya seperti orang tuanya sendiri. 2.5 tahun di SMP kamana-mana bersama. Pulang sekolah, les, jajan, jalan-jalan, hampir semua.
Ketika SMA kami memilih untuk keluar kota, Solo menjadi pilihan kita. Tapi ia memilih SMA1, dan saya di SMA3. Namun begitu, tempat les kita sama. Pulang kampung setiap akhir minggu juga bareng. Jalan-jalan juga masih sering bersama. Juga dia yang mengajari saya naik motor dengan gagah berani diantara bus-bus yang besar (*saking beraninya sampai-sampai saya penasaran sama kerasnya sebuah mobil hartop nabrak mobil hartop yang ternyata keras banget bodynya).
Jaraklah yang memisahkan kami. Ia memilih kuliah di kota yang sama dan saya malah pergi jauh meninggalkan kampung halaman. Namun begitu tiap semester kita masih menyempatkan diri untuk saling ketemu, mengup-date semua yang kita alami masing-masing.
Alhamdulillah Juli 2003, ditahun-tahun terakhir kuliahnya, sahabat saya ini menikah dan tidak lama setelah itu, ia mengandung. Bahagia rasanya, keponakan pertama!
Ketika saya menikah, Juni 2004, sahabat saya ini sedang hamil besar. Seminggu setelahnya, ia melahirkan seorang bayi cantik. Farisa Zahra An Nafi', "supaya jadi wanita yang berguna kelak", katanya.
Setiap pulang liburan, saya selalu kangen sama Farisa. Cepat sekali pertumbuhannya. Maret 2005 saya ketemu, dia makin endut, sehat, lucu, dan tidak rewel. Mam, mammam, ta ta-ta-ta... baru kata-kata itu yang bisa diucapkannya. setiap diajak bicara selalu tersenyum lebar. Memang Farisa termasuk anak yang supel, mudah diajak main dengan orang yang baru dikenalnya.
Oktober 2005, ditengah-tengah Ramadhan, saya mendapat sms dari sahabat saya: "Dam, anakku di rumah sakit, kena leukemia. Tolong carikan info tentang cangkok sumsum tulang belakang di Singapore."
Sedih mendengarnya. Apalagi saya tau bagaimana sifat sahabat saya itu. Tegar, dewasa, pandai menutupi kesedihannya, selalu ceria.
Setelah mencari-cari di internet dan kirim email ke beberapa dokter di Singapore, info yang saya dapatkan tidak banyak membantu. Cangkok sumsum tulang disini bisa sampai 900an juta rupiah. subhanallah, mahalnya sebuah kesehatan.
November 2005, saya pulang kampung. RS Sarjito di Jogja menjadi salah satu tujuan utama. Dan siang itu, saya dan dia sama-sama menahan tangis, tapi ketika kami berangkulan erat, tangisnya pecah, lirih...dan sayapun tak kuasa untuk tidak menangis. Banyak dia bercerita siang itu. Saya hanya bisa melihat Farisa dari kaca, ia dengan tetap ceria, bercanda dengan ayahnya didalam ruang isolasi. Sesekali menangis sambil memegangi kepalanya.
"Farisa cuma bisa bilang: 'tit, tit' maksudnya 'sakit, sakit' setiap kali ia selesai di kemoterapi", kata sahabat saya. Sedih...
Sayapun kembali ke Singapore setelah liburan saya selesai. Kami masih sering sms-an.
"Gimana Farisa?", sms saya sore itu. "Alhamdulillah, membaik. Tapi masih belum bisa memproduksi sel darah, dokter masih mencoba terus. doakan aku optimis Dam," balasnya.
Lega mengetahui perkembangan Farisa membaik.
Lama setelah itu kami tidak saling meng-sms... dan sms pertama yang saya terima darinya setelah 1 bulan lebih adalah untuk mengabarkan kepergian Farisa. Pedih...
1 comments:
Innalillahi wa inna 'ilaihi ra ji'un..
Qadarullahi wa maasya a fa'ala..
Allahumma ajurhuma fii mushiibati wa'akhlif lahuma khairan minha..
amiin..
Post a Comment